Terkadang Ada yang Dikorbankan ketika Hidup Semakin Mudah

Razan Tata
3 min readSep 29, 2024

--

Photo by @felipepelaquim on Unsplash

Bocah itu menunggu cemas di depan radio. Matanya membola ketika suara renyah penyiar berucap, “Lagu berikutnya ‘Mungkin Nanti’ dari Peterpan.” Tangan mungil itu lekas menekan “record”.

Tak usah kau tanyakan lagi

Simpan untukmu sendiri

Semua sesal yang kau cari

Semua rasa yang kau beri

Musik berhenti. Kaset kosong tak lagi merekam. Terlukis senyum anak lelaki di depan radio. Ya, bocah itu adalah saya.

Semakin Mudah = Magisnya Hilang

Photo by Rathnahar Sriom: https://www.pexels.com/photo/shallow-focus-photography-of-firecracker-3393477/

Tahun demi tahun berlalu. Tak ada lagi yang mencari lagu di radio atau mendengar lewat MTV Ampuh. Sekarang cukup buka Spotify atau YouTube Music, lagu apa pun bisa didengar. Namun, tak ada lagi antusias saat intro lagu favorit mengalun. Saya bisa mendengar opening “Mungkin Nanti” ribuan kali, namun tak ada getarannya lagi.

Dulu mendengar lagu itu mahal.

Saya perlu membeli walkman, lalu mencari kaset untuk tiap musisi yang ingin didengar. Jika ingin memutar lagu band lain, saya harus membeli kaset lagi. Butuh usaha lebih, membuat lagu seperti baju kesayangan yang dipakai ketika akhir pekan.

Sekarang mendengar lagu bisa lewat Spotify. Cukup puluhan ribu tiap bulan, bisa mendengar lagu apa pun yang diinginkan. Namun, lagu jadi seperti baju lusuh yang hanya dikenakan di rumah.

“Kembali ke laptop!”

Saya dulu suka menonton acara “Bukan Empat Mata”. Melihat tingkah Tukul Arwana menjadi hiburan sebelum tidur. Setiap jam 10 malam selalu menunggu di depan TV. Ada perasaan menyesal misalkan terlewat, apalagi jika bintang tamunya adalah artis kesukaan. Lantaran tidak bisa ditonton lagi. Berbeda dengan sekarang. Setiap acara bisa dilihat ulang di YouTube. Tak harus menunggu di depan TV tepat waktu.

Namun, itu yang membuat saya sering menunda-nuda untuk menonton. Lihat episode baru podcast, sering disimpan ke ‘Tonton Nanti”, lalu lupa untuk ditonton. Akhirnya menumpuk layaknya laci meja yang berantakan.

Ketika Berkirim Pesan dan Membeli Makan jadi Lebih Mudah

Photo by cottonbro studio: https://www.pexels.com/photo/person-in-white-dress-shirt-holding-black-smartphone-5083010/

Hidup memang menjadi semakin mudah. Namun, seringkali membawa masalah baru. Dahulu orang berkirim pesan lewat surat. Perlu menunggu berminggu-minggu untuk sampai, dibaca dan dibalas. Kini pesan bisa tiba dalam hitungan detik. Berbentuk aplikasi Whatsapp, email atau Telegram. Semakin mudah, tetapi menggiring persoalan lain. Dulu butuh waktu untuk mengirim satu pesan. Sekarang 100 pesan bisa tiba di bawah 10 detik. Denting dan getar ponsel tak ada waktu istirahat. Semua pesan menuntut untuk segera dibalas. Jika tidak, bisa membuat retak hubungan.

Terkadang ada yang perlu dikorbankan ketika hidup semakin mudah. Dahulu saat lapar perlu memasak atau keluar rumah membeli makanan. Sekarang cukup buka aplikasi pesan-antar. Dalam hitungan menit nasi goreng tiba di depan pagar. Makannya jadi lebih mudah, tetapi tubuh semakin minim gerak. Apalagi jika iseng membuka aplikasi. Dari tidak lapar bisa khilaf memesan sekotak martabak manis. Asupan kalori masuk tanpa sadar. Semua dilakukan dengan rebahan di kamar. Tak heran tiba-tiba kelebihan berat badan, tiba-tiba mudah sakit, tiba-tiba gula darah dan kolesterol seperti manusia paruh baya padahal baru remaja.

Cara Membuat Kemudahan Tak Jadi Bumerang

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/yellow-cube-on-brown-pavement-208147/

Waktu bergerak maju. Kemudahan akan sering tiba lebih dekat. Melenakan, tetapi manusia punya kendali. Itu yang coba saya lakukan.

Jika biasanya mendengar musik sambil lalu, kini coba mendengar dengan kesadaran penuh. Semisal sebelum tidur malam kemarin, saya meresapi lirik dan musik “Arteri” dari .Feast. Jika perut mulai lapar, saya coba untuk memasak. Membuka aplikasi pesan-antar hanya ketika terdesak. Saya punya kendali. Tayangan podcast bisa ditonton nanti, tetapi saya bisa memilih untuk menonton sekarang atau nanti. Pesan Whatsapp bisa masuk setiap saat, tetapi saya punya tali kekang untuk membalas yang penting saja, dan mengabaikan hingga membisukan pesan menganggu.

Manusia punya kendali. Jangan lupakan itu.

--

--