Aku Hanya Kangen Band untuk Kamu yang Danilla Riyadi
Lumrah bukanlah hal yang menarik. Banyak yang beranggapan begitu. Katakan tidak pada musik melayu, tetapi meresap pada alunan lagu-lagunya Danilla Riyadi. Memandang sinis gurauan ala Opera Van Java, lalu tertawa keras terhadap lelucon yang menyindir agama. Contoh terbaru ada pada reaksi para penonton Joker. Lantaran banyak yang memuja, mulai berdatangan mereka yang bilang filmnya, “Biasa saja.”
Sah-sah saja.
Tak ada yang salah menjadi anti-mainstream. Jika itu memang pendapat pribadi, bukan sekadar ingin terlihat keren.
Beberapa waktu kemarin dihelat pegelaran Synchronize Festival di Jakarta. Saya tak menonton. Lantaran terlalu jauh dari kota saya bertempat tinggal di Pulau Kalimantan. Festival tersebut terbilang besar. Musisi berbagai genre turut berpartisipasi. Termasuk yang ambil bagian tahun ini ada deretan band yang “dipandang sebelah mata”. Sebut saja Wali, Kangen, Radja, hingga Setia Band. Bagi yang melabeli diri penikmat musik indie, jelas lagu-lagu dari musisi tersebut haram berada di playlist Spotify.
Namun, tahu apa yang terjadi ketika mereka naik ke atas panggung?
Sebelumnya patut digarisbawahi, sebagian besar para penonton Synchronize Festival kurang lebih sama seperti pembeli tiket We The Fest ataupun DWP. Berselera mode menawan dengan minat musik yang diagungkan lebih baik. Telinga terasa gatal jika mendengar lagu-lagu yang biasa diputar di acara Dahsyat atau Inbox.
Tetapi, apa yang terjadi ketika Wali, Radja, Setia Band, hingga Kangen Band — di mana sang vokalis, Andika, sering jadi bahan ejekan — menyanyikan lagu andalan mereka?
Kamu bisa cek di YouTube. Penonton menggila. Semua bernyanyi dan menikmati. Bahkan ketika lagu Bulan dari Radja usai, seorang moderator pun berkata,
“Mampus kau anak-anak indie.”
Barangkali ada yang tidak setuju. Berujar jika ini terlalu menggeneralisasi. Maaf jika begitu. Ini sebuah keresahan yang makin lama kian mengganggu. Imbasnya sudah tidak menyenangkan.
Semisal penikmat musik berlabel “indie” merasa jemawa daripada pendengarnya Armada.
Dan lucunya, saking “indie” digemari hingga menjadi mainstream, mulai bermunculan para pembenci “indie”. Sebut saja istilah senja. Kosakata ini erat dengan label “indie” bersama kopi dan puisi. Namun, lama-lama senja kian sering digunakan hingga anehnya meresahkan beberapa orang. Lagu “Senja-Senja Tai Anjing” pun diciptakan dan disebar melalui YouTube.
Pertanyaan saya … kenapa?
Apa karena senja menjadi mainstream, lalu tak lagi menjadi keren? Sepenting itukah menjadi anti-mainstream?
Saya sendiri mendengarkan berbagai jenis musik, menikmati lintas genre perfilman, hingga tertawa terhadap lelucon apa pun yang mengundang gelak — terlepas lewat format apa pun. Namun, saya tak pernah merasa angkuh dengan selera apa pun yang dinikmati. Selain mendengar The Adams, saya juga turut bernyanyi tatkala Republik manggung di kota saya. Begitu juga dalam menonton film. Di samping mengikuti jajaran top 250 versi IMDB, saya juga senang menonton drama Korea.
“Tetapi, Zan, itu kan kamu. Selera orang lain, kan, beda-beda.”
Setuju. Jika memang kamu hanya tertarik dengan musik berlabel “indie”, tentu tidak mengapa. Asalkan murni adanya. Bukan sekadar ikut-ikutan. Apalagi sampai menghina selera orang lain. Yang menjadi sorot saya adalah mereka yang merasa angkuh di kolam anti-mainstream. Apa pun itu mediumnya. Entah film, musik ataupun buku.
Selera adalah hak mutlak. Boleh memilikinya seperti menjaga harta paling berharga. Marah jika dihina, sering juga berlebihan dalam bangga. Sah-sah saja. Keresahan di atas juga sekadar tertuang. Tak mesti mengatur orang lain untuk begini dan begitu. Apalah hak saya.
Daripada menggelisahkan ini, saya ingin menyeduh kopi dan menyiapkan camilan. Ada drama korea yang belum dituntaskan.