Jasa Rangkai Kata dan Polisi Sastra
Entah mengapa, ada yang merecoki jasa ini. Salahnya apa?
Saat menemukan jasa rangkai kata, saya mengernyitkan dahi. Tidak menyangka jika ada yang rela mengeluarkan uang untuk sebatas caption di Instagram. Namun, setelah mencermati dan menyadari, perlahan mulut saya menganga. Ini ide bisnis yang benar-benar brilian!
Rumus bisnis yang berhasil itu sederhana: ada kebutuhan, lalu ada yang bisa memenuhi kebutuhan itu.
Ketika malas memasak dan keluar rumah untuk membeli makanan, hadirlah layanan Go-Food. Begitu pula dengan laris manisnya skincare belakangan ini, saat para wanita mulai gencar merawat wajah. Atau juga saat anak muda senang mencoba jajanan baru, es kopi susu dan minuman boba pun muncul memuaskan lidah.
Sama halnya dengan jasa rangkai kata. Butuh kejelian agar menemukan peluang.
“Apa yang dibutuhkan orang-orang di luar sana saat ini?”
Tanpa disangka, lekatnya Instagram bagi sebagian besar orang, muncul keinginan dan kebutuhan yang tanpa diduga ada. Salah satunya ingin menulis caption semenarik mungkin. Namun, ternyata tidak semua orang bisa melakukan ini. Kendala yang paling sering ditemui: Sudah tahu ingin menyampaikan apa, tetapi tidak tahu harus menuliskan apa.
Hingga tak jarang caption yang ditulis pun akhirnya sekadar,
“Candid.”
“Aku kok gemukan ya?”
“Vitamin sea.”
atau kutipan ayat padahal fotonya selfie.
Sebenarnya mereka ingin menulis lebih baik daripada itu.
Celah ini pun ditangkap Kapitulis, jasa rangkai kata milik Zarry Hendrik. Tak perlu pusing apa-apa, mereka menuliskan caption yang nantinya menjadi milik yang memesan. Tak ayal, pemesan pun berdatangan. Kapitulis seolah menjadi jalan keluar atas kebuntuan menulis caption selama ini.
Namun, jasa ini menemui sanggahan. Mungkin karena tulis-menulis bagian dari sastra, para ahli (katanya) bermunculan layaknya semut tanah yang tersiram bensin. Bermula artikel dari Mojok https://mojok.co/terminal/jasa-merangkai-kata-yang-laris-manis-kok-bisa/, bermunculan aneka ragam tanggapan. Salah satu yang mencuri perhatian adalah reaksi dari akun @felsdar di Twitter. Istri dari penulis Bernard Batubara ini menuliskan,
“Jasa rangkai kata? Sedemikian MISKIN dan MALAS-kah generasi sekarang dalam hal berpikir? Sampai merangkai kata saja susah dan harus memakai jasa tersebut? Kalau saya pribadi, saya sih gak akan bangga pakai jasa beginian sih karena tidak original dari buah pemikiran & perasaan saya.”
Sebuah pernyataan yang sungguh menusuk. Sudah seperti penetrasi Messi mendekati area pertahanan lawan.
Tak lama berselang, sang suami, Bernard Batubara juga melepaskan cuitan, “Kata-kata itu bukan komoditas.”
Yang menjadi keheranan saya, semengganggu itukah jasa rangkai kata bagi mereka? Kenapa menanggapi sampai sebegitunya? Apa karena merasa kata-kata adalah perkara suci, sehingga tidak bisa sembarangan diperlakukan, termasuk diperjualbelikan?
Belakangan ini di media sosial terutama Twitter sedang marak-maraknya “polisi sastra”. Mulai dari kasus buku puisi Putri Marino, Ivan Lanin hingga jasa rangkai kata ini. Seolah mereka memiliki standar yang paling benar mengenai sastra. Termasuk di dalamnya kata-kata. Sehingga jika ada yang menyeleweng dari standar itu, mereka mengambil mikrofon dan berteriak lantang jika itu salah.
Sering terjadi memang. Idealis-idealis begini sering merecoki bisnis yang sedang tenar. Sebut saja Starbucks. Gerai kopi ternama tersebut tak luput dari sindiran coffee snob, para pencinta kopi yang benar-benar mencintai kopi (katanya).
“Starbucks itu bukan kopi.”
“Kopi kok banyak tambahan rasa.”
Heran? Saya juga. Namun, ini akan selalu ada. Di mana-mana. Entah benar-benar menyindir atau sekadar kecemburuan yang berbalut sindiran. Atau sedang melakukan apa yang sedang lumrah di dunia maya: panjat sosial.
Saya tidak tahu.
Saya gerah. Menuliskan ini hanya sekadar meredakan isi kepala. Namun, sepertinya tak berdampak juga. Tak apa. Yang penting semua sudah tercurah. Bahkan mulai terpikir … bagaimana jika saya juga membuka jasa menulis caption? Yang lebih murah, lebih cepat, dengan kualitas yang bersaing? Apakah ada yang mau?
Hahaha.