Mengapa Akhirnya Saya Berlari Setiap Minggu?
Padahal Sebelumnya Menganggap Remeh Olahraga yang Satu Ini.
Dulunya saya tak menyukai lari.
Jika berolahraga, lebih memilih angkat beban. Di mana lebih efektif secara waktu serta memiliki ragam keunggulan — menurutku. Kalaupun sesekali kardio, saya lebih suka melakukan HIIT, bermain bulutangkis atau sepak bola. Lari tak pernah masuk dalam pertimbangan.
Lalu, semua berubah dalam beberapa bulan terakhir. Sekali dalam seminggu, saya mulai rutin berlari. Sekitar 3–5 km setiap sesi.
Lantas, apa yang terjadi? Mengapa akhirnya lari menjadi pilihan setiap minggu?
Ada satu sebab. Masih ingat kala pertama memutuskan untuk berlari: saya bukan lari untuk kesehatan, tetapi lebih karena alasan filosofis.
Semua berawal ketika ingin meningkatkan kualitas diet dan pola gerak. Sejauh ini, saya rutin melakukan bodyweight training di rumah 3–4 kali seminggu. Sebenarnya ini sudah cukup. Namun, saya berkeinginan memasukkan menu kardio. Lantaran ingin memiliki ketahanan dan stamina yang lebih baik. Selain itu, lemak bisa dibakar lebih besar.
Ujung-ujungnya satu: saya bisa makan lebih banyak tanpa cemas.
Beberapa pilihan kardio menjadi pertimbangan, mulai dari HIIT hingga bermain bulutangkis. Namun, ada kendala, terutama saat kondisi yang begitu ketat di awal-awal pandemi. Ketika itu berusaha menghindari olahraga di mana orang-orang berkumpul.
Saya juga tak begitu tertarik dengan HIIT. Olahraga ini memang sangat efisien, tetapi cukup berat dilakukan. Sesi 30 menit saja bisa membuat saya terkapar dan menatap nanar langit-langit.
Saya ingin kardio yang menyenangkan.
Pilihan lari pun muncul dalam pertimbangan.
Tentu tak ujug-ujug tatkala memutuskan untuk berlari. Ada sebuah cerita menarik.
Saya senang menulis dan membaca. Salah satu penulis kesukaan saya adalah Haruki Murakami, seorang penulis besar dari Jepang. Usut punya usut, Murakami senang berlari di sela-sela profesinya sebagai penulis. Di samping alasan kesehatan, lari dijadikannya tempat menyelami isi kepala.
Seketika saya membuka mata lebih lebar. Alasan lari sebagai tempat untuk berkontemplasi terasa menarik. Saya lalu membuka YouTube, lalu mencari berbagai video berisikan motivasi para pelari yang lebih filosofis.
Ada yang berlari untuk melepas penat. Adapula yang menjadikan lari sebagai sarana mendapatkan ide. Termasuk lari ketika ingin sendiri, atau ritual me time yang menenangkan.
Benar adanya. Ketika mencoba lari untuk kali pertama, saya menyadari satu hal: ada “ruang kosong” saat kaki bergerak. Semacam tempat untuk berpikir, menemukan ide, ruang pelepas jenuh.
Sejujurnya lari itu cukup berat. Terlebih jika melakukannya dengan efisien. Maksud efisien di sini adalah berlari dengan kecepatan dan jarak yang memeras fisik. Secara tenaga, aktivitas lari lebih menguras napas dibanding bodyweight training yang biasa saya lakukan di rumah.
Meski begitu, hasrat berlari selalu ada setiap minggu. Bukan untuk alasan kesehatan — walau ini tetap menjadi pertimbangan, melainkan saya ingin berada di dalam “ruang kosong” itu lagi.
Saat mulai rutin berlari, kira-kira di minggu ketiga, saya mulai merasakan sensasi menyenangkan saat kaki melintasi aspal atau lintasan. Terkadang ketika memiliki waktu luang dan kepala terasa penat, saya memutuskan untuk berlari. Benar saja, kepala seketika ringan begitu usai. Meski dibarengi peluh dan napas yang menderu.
Perlahan saya tak lagi memandang remeh olahraga ini. Dari awalnya tak pernah mempertimbangkan lari ke dalam menu olahraga, sekarang mulai kangen ketika 1–2 kali bolos berlari.
Tak seperti olahraga lain semisal angkat beban atau bermain bulutangkis, lari itu sederhana. Cukup ambil sepatu, lalu keluar rumah. Tak mesti ke venue ini dan itu atau menggunakan alat ini dan itu. Cukup melangkahkan kaki. Itu saja.
Salah satu yang juga saya sukai ketika berlari: mengamati sekitar. Banyak hal yang luput dari perhatian. Semisal toko hewan peliharan yang lebih dekat dibanding tempat langganan; semangat para manusia berumur senja yang berlari ketika pagi; interaksi canda satu keluarga ketika olahraga bersama; hingga riuhnya ibu-ibu di warung sembako.
Dalam sekali ritual lari, saya mendapat banyak cerita yang bisa dibawa pulang.
Melihat hal-hal sederhana ampuh membuat dada terasa lebih lapang. Apa ya … semacam membuat jiwa menjadi lebih hidup. Apakah kamu juga pernah merasakan? Bagaimana ketika kisah di sekitar kita memberikan sentuhan sederhana yang begitu kuat.
Dan itu saya dapatkan saat berlari.
Ada satu film yang begitu saya suka. Judulnya Forrest Gump. Terdapat adegan legendaris dalam film itu, yakni ketika Forrest Gump berlari melintasi Amerika. Bukan untuk kesehatan, dia berlari untuk alasan yang lebih filosofis.
Meski awalnya dia berujar, “I just felt like running.”, tetapi dirinya menyadari dia bergerak maju untuk meninggalkan apa-apa yang “menganggunya” di belakang. Ucapan selamat tinggal kepada masa lalunya.
Ya, lari memang sederhana.
Namun, kadang tak sesederhana itu.