Menjadi Bagian dari Sejarah untuk 100 Tahun ke Depan

Razan Tata
3 min readJun 3, 2020

--

Saya membayangkan ketika berumur 50 atau 60 tahun, duduk di hadapan manusia yang lebih muda, lalu mereka terkejut ketika saya berceletuk, “Tahun 2020 adalah kali pertama kami berpuasa dan lebaran di rumah.”

“Tidak ke mana-mana?” Barangkali itu tanggapan yang akan keluar.

Tersenyum getir, saya menjawab sembari menatap mata mereka satu per satu,

“Tidak ke mana-mana.”

Banyak duka di tengah wabah ini. Keluhan tak henti menguar. Pekik tangis merambat. Tak pernah terpikirkan sebelumnya, di masa modern ini kita berhadapan dengan pandemi. Siapa sangka kita diharuskan berdiam di rumah sekian lama. Kalaupun harus pergi keluar, masker tak boleh lupa dikenakan. Termasuk menjaga jarak, mencuci tangan, dan berbagai protokol kesehatan lainnya. Benar-benar hal baru.

Saya mengira ancaman dunia tak jauh-jauh dari perang dagang atau militer. Itu yang kita konsumsi sehari-hari, kan? Berita politik yang tiada habisnya. Namun, tak banyak isu kesehatan yang diangkat. Sampai akhirnya virus ini menerjang.

Kaget, tentu saja. Awal-awal bingung harus berbuat apa. Kemudian seiring berjalannya waktu, pelan-pelan beradaptasi. Hari demi hari dilalui hingga Ramadan dan Idul Fitri terlewati. Panitia buka puasa bersama pun bisa bernapas lega tahun ini. Tak perlu lagi mengurus mereka yang bilang iya, tetapi tak hadir ketika hari-H.

Kita sedang menulis sejarah. Berpuasa tanpa buka bersama teman, salat Idul Fitri di rumah, tak bersalaman ketika bertemu kenalan, jaga jarak dari orang-orang, ataupun lekas mandi ketika pulang ke rumah. Terkadang saya berpikir bagaimana suasana pandemi di masa lalu, semisal Black Death atau Flu Spanyol. Saat teknologi tidak semaju sekarang, apa yang terjadi saat itu? Barangkali ini juga akan menjadi pertanyaan di 100 tahun mendatang. Bagaimana situasi dunia ketika pandemi Covid-19. Ya, kita adalah bagian dari sejarah.

Saya penasaran ketika ini berlalu. Akankah memberi perbedaan? Semisal ke tingkah laku atau cara berhubungan sosial. Kalau saya sendiri mungkin akan lebih menghargai pertemuan. Terhitung sudah tiga bulan — kayaknya — saya tak bertemu teman terdekat. Ah, tak terbayang ketika melihat mereka nanti, lekas berujar dalam senyum mengembang, “Gila! Akhirnya ketemu juga!”

Selain itu, sepertinya juga akan lebih banyak berbincang dengan orang rumah. Keluarga kami bukannya dingin, hanya saja tak terbiasa saling bertukar pikiran seperti keluarga di sinetron Si Doel Anak Sekolahan atau Bajaj Bajuri. Di saat-saat seperti ini, kebiasaan tersebut mau tidak mau “didobrak”. Bertepatan pula dengan momen Ramadan, di mana tatap muka menjadi lebih sering di atas meja makan. Ternyata … rasanya menyenangkan. Kini jarak itu perlahan memudar. Kami pun jadi lebih sering mengobrol di rumah. Teringat kata Anies Baswedan, beliau berujar jika pandemi ini memberikan satu hikmah. Ketika kita di hari-hari biasa jarang berada di rumah, kali ini “dipaksa” untuk berada di rumah. Bagi yang jarang terhubung dengan keluarga, ini menjadi kesempatan. Pertanyaannya: mau dimanfaatkan atau tidak.

Saya percaya manusia terbentuk oleh apa-apa yang dilalui. Itu sebabnya saya gemar mengumpulkan pengalaman. Didapat dari hal-hal sederhana semisal perjalanan, bertemu orang baru, mengikuti kelas menulis, mencoba makanan yang tak pernah dicicipi, mengelilingi kota tanpa tujuan pasti, hingga kebahagiaan atau kesedihan yang pernah lewat.

Termasuk juga mengalami hidup di tengah pandemi. Pengalaman yang boleh jadi orang tua kita pun baru kali pertama merasakannya. Tentu saja tanpa mengurangi hormat kepada petugas kesehatan yang berjuang. Ataupun kepada mereka yang mengalami kesulitan hebat karena wabah ini. Semoga ini membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik nantinya.

Sering saya dengar, apapun yang terjadi di muka bumi bukanlah tanpa sebab. Ada maksud tertentu. Hanya saja kita baru akan mengerti ketika waktunya tiba. Saat ini terpenting empati dibutuhkan. Kalau merasa merana, orang lain juga begitu. Memang sulit untuk tidak egois ketika sedang terjepit. Namun, siapa pun yang bisa, tentu itu hal yang luar biasa, bukan? Kita sama-sama berjuang. Namun, tak boleh lupa saling menguatkan.

Kita sedang menulis sejarah. Harapnya 100 tahun mendatang, yang tertulis bukanlah hal-hal buruk, melainkan kita yang saling membahu meskipun keadaannya tidak sedang ideal. Tak saling tutup mata. Tetap mengulurkan tangan sembari tangan satunya lagi berpegang pada akar di tebing.

--

--

Razan Tata
Razan Tata

Written by Razan Tata

Seorang Content Writer dari Pontianak | Instagram: @razan_tata

No responses yet