Minggu Sederhana di tengah Pandemi

Razan Tata
3 min readApr 20, 2020

--

Photo by Nadiya Ploschenko on Unsplash

Cara terbaik memulai hari bukanlah saat bangun, melainkan ketika tidur di malam sebelumnya. Semakin awal terlelap, semakin baik. Namun, sayangnya saya jarang memejamkan mata sebelum jam dua belas. Itu sebabnya pagi seringkali dimulai lebih siang.

Namun, pagi di Minggu ini berbeda. Bangun lebih awal memungkinkan mata melihat matahari yang belum lama terbit. Dari balkon, jari membuka kamera ponsel, menangkap langit berona jingga keemasan. Sayup-sayup terdengar kicau burung yang sesekali melintas. Burung-burung itu bangun begitu pagi, tetapi sudah terbang ke sana kemari. Apa tidak capek?

Kian menyilaukan mata, saya kembali masuk ke dalam kamar. Baru saja membuka pintu, terdengar suara yang tidak asing. Begitu lirih. Makin lama makin meresap.

“Yuk, sini. Rebahan lagi.”

Ternyata panggilan tersebut berasal dari kasur. Tak kuat melawan tarikan gravitasinya, saya merebahkan tubuh. Kemudian terlelap kembali.

Jam sembilan. Sudah cukup, ujar saya kepada kasur. Tahu tidak bagian tersulit di pagi hari selain mengangkat punggung dari tempat tidur? Menuju kamar mandi. Dalam langkah gontai, saya mengambil handuk dan bertolak ke arah toilet. Bukan untuk mandi, tetapi sekadar mencuci muka. Tatkala nyawa sudah terkumpul, saya bersiap untuk olahraga.

Pesan WHO dan layanan kesehatan pemerintah jelas. Selain makan dengan gizi seimbang, diperlukan tidur yang cukup serta berolahraga. Sudahlah tidur berantakan, setidaknya olahraga jangan sampai begitu. Terlebih di saat pandemi seperti ini. Tatkala masker, vitamin C, hingga Nescafe Classic mulai langka, itu pertanda tubuh mesti dijaga lebih baik dari sebelumnya. Ayah berpesan, “Berusaha dulu sebaik mungkin. Baru bertawakal. Kalau pun masih terkena sakit berarti memang sudah takdirnya. Itu lebih melegakan daripada tidak menjaga diri tiba-tiba sakit. Nanti ketika terbaring lemas, kepala dan dada dipenuhi penyesalan kenapa dulu tidak berusaha menjaga kesehatan.”

Sesi olahraga pun berlangsung kurang lebih satu jam.

Apa yang menyenangkan sehabis berkeringat karena olahraga yang cukup berat? Perasaan nyaman setelah mandi. Waktu terasa berjalan lebih lambat, angin lebih sejuk menerpa wajah, membuat tak ada keinginan untuk sambat-menyambat. Jam sebelas siang, makan berat pertama hari ini saya lahap dalam hati temaram.

Matahari bergeser dari titik puncak. Saatnya menyeduh kopi. Ini bagian penting dalam menjalani hari. Tanpa aroma kopi yang menyusupi hidung, suasana hati bisa uring-uringan tak berujung. Benar saja, saat seruputan pertama menjalari ujung lidah, napas menarik lebih dalam dan berembus lebih panjang.

Langit begitu cerah di luar sana. Memikat hasrat untuk berjalan-jalan. Namun, harus ditahan. Tak boleh membandel. Di rumah saja, begitu katanya. Sudah sebulan berlalu, belum ada tanda-tanda kasus covid-19 di Indonesia menurun. Di kota tempat saya tinggal, Pontianak, jumlah kasusnya sudah terdeteksi lebih banyak dari sebulan yang lalu. Itu artinya tindakan pencegahan perlu dilakukan lebih ekstra. Salah satunya: Tidak keluar rumah jika tak ada keperluan. Bosan tentu saja. Semakin ke sini semakin mencoba banyak hal untuk mengusir jenuh. Semisal mencoba resep di Twitter. Kalaupun malas, cukup menonton film. Seperti siang ini. Architecture 101, judul yang saya pilih untuk dinikmati.

Beberapa waktu lalu mendengar penjabaran menarik dari seorang psikiater. Ketika lahir, setiap makhluk membawa kemampuan dasar untuk bertahan hidup. Ikan seketika bisa berenang. Harimau berjalan. Kemudian manusia menangis.

Tangis adalah tanda butuh perhatian. Tangis adalah sinyal meminta tolong. Manusia sejatinya tak pernah bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia lain agar bisa bertahan hidup. Sepenting renangnya seekor ikan atau jalannya seekor harimau.

Di saat seperti sekarang, baru terasa betapa saya membutuhkan orang lain. Bukan untuk hal yang megah semisal membangun bisnis atau menyelamatkan negara. Namun, untuk sekadar berbincang. Sebegitu rindunya mengobrol lewat tatap muka, di antara kopi di atas meja atau kepulan gorengan yang baru saja dibeli. Walau ada perantara media sosial, tetap saja tak bisa menggantikan percakapan tanpa sekat.

Saya salut dengan mereka yang menjalin hubungan jarak jauh sekian lama. Butuh kekuatan seperti apakah untuk bisa bertahan?

Meski begitu, saya tetap berusaha menjalin ikatan dengan teman-teman terdekat. Sesuai arahan WHO yang mengubah frasa social distancing menjadi physical distancing, hubungan perlu tetap dipupuk walau terpisah jarak. Beberapa jalur ditempuh: chat lewat Whatsapp, bermain game online bersama, atau kadang berbincang melalui Discord.

Dan itu yang saya lakukan malam ini. Bermain PUBG bersama teman hingga akhirnya mengantuk dan terlelap.

Dalam perasaan nyaman. Dan tetap waras.

Semoga besok tetap bisa begitu. Bertahan. Hingga akhirnya kembali menjumpai Minggu dengan lebih leluasa. Seperti saat sebelum pandemi tiba.

--

--

Razan Tata
Razan Tata

Written by Razan Tata

Seorang Content Writer dari Pontianak | Instagram: @razan_tata

No responses yet