Mengapa Takut dengan Hal-Hal yang Tidak Kamu Sepakati?
Sebuah kegelisahan melihat film “Kucumbu Tubuh Indahku” dicekal tanpa ditonton
Cara termudah untuk menyikapi hal yang tidak disepakati adalah dengan menolaknya. Kamu bisa menyebut kata-kata bernada sama. Mencekal, memboikot, atau mengusir.
Namun, seperti yang kita tahu kadangkala cara termudah bukanlah yang benar. Dan menurut saya ketika bertemu dengan hal-hal yang tidak disepakati, cara terbaik adalah membuka ruang dialog. Menyentuh apa-apa yang berlawanan dengan apa yang telah dipegang.
Lantas seberapa banyak dari kita seberani itu?
Ini yang terjadi ketika Kucumbu Tubuh Indahku beredar di bioskop. Film garapan Garin Nugroho tersebut menemui penolakan keras. Ajakan memboikot tersebar di media sosial hingga grup Whatsapp. Bahkan pemangku jabatan di daerah saya mengeluarkan edaran berisi penolakan serupa.
Alasan utama pencekalan katanya dianggap menyebarkan paham LGBT.
Sebagai penikmati film, saya membuka tangan terhadap genre atau tema apa pun. Mulai dari drama korea hingga sejarah perang dunia saya lahap. Termasuk film-film berbalut isu sensitif. Terlepas setuju atau tidak, saya tetap akan menonton. Film adalah media untuk mengangkat realita yang ada. Ketika film mengangkat sebuah tema, berarti ada sebuah kenyataan yang benar adanya terjadi.
Sebut saja Habibie dan Ainun. Ketika melihat Habibie muda tahun 1960-an, kita akan melihat sebuah latar antik di sana. Segala gaya busana hingga kendaraan disesuaikan sedemikian aslinya. Film mesti jujur. Jika setting 1960-an tersebut ada teknologi bernama internet di Indonesia, maka jelas film itu mengalami kekeliruan.
Itu contoh sederhana bagaimana film mengangkat realita yang ada. Ini baru dari sisi yang bernama latar atau setting.
Ada juga film yang mengangkat isu nyata dan terjadi di sekitar kita. Contohnya film yang belum lama ini tayang, Ave Maryam. Film yang dilakoni oleh Chicco Jericho dan Maudy Koesnaedi tersebut mengangat isu yang cukup sensitif, yaitu dinamika cinta terlarang antara pastor dan suster. Tidak suka dengan isunya? Silakan. Tetapi, jika ketidaksukaan itu berujung pada ajakan memboikot, sungguh egois saya kira.
Saya tidak bisa membayangkan jika sineas Indonesia selalu bermain aman. Film komedi, horor dan cinta dunia SMA akan membanjiri setiap bioskop.
Bahkan bisa jadi film dokumenter Sexy Killers tidak akan beredar di YouTube. Mata kita pun tidak akan terbuka dengan sebuah fakta yang ada. Mungkin ada pro dan kontra mengenai topiknya, tetapi justru dengan ada yang sepakat dan tidak setuju, diskusi pun menjadi perantara.
Itu sebabnya ketika mendengar pencekalan film Kucumbu Tubuh Indahku, saya merasa miris. Bagaimana mau membuka ruang dialog, belum menonton saja sudah mencekal. Ya, setelah mencari informasi, kebanyakan yang menolak ternyata belum menonton filmnya sama sekali.
Seperti yang saya ujarkan di awal, seringkali cara termudah menghadapi hal-hal yang tidak disepakati adalah dengan mencekal. Tetapi, jika begini terus akan menggerus satu hal penting dalam diri: kebijaksanaan.
Setiap film yang akan dirilis terlebih dahulu diseleksi oleh Lembaga Sensor Indonesia. Mereka akan menilai setiap film, kemudian memberikan kategori umur. Kucumbu Tubuh Indahku pun mendapat rating 21+. Artinya isu yang diangkat bisa dicerna oleh penonton berumur 21 tahun ke atas.
Itu sebabnya alay tidak boleh menonton film ini.
Umur 21 tahun ke atas tidak sama dengan yang berumur 7 tahun. Jelas beda.
Dari sekian banyak komentar yang menolak Kucumbu Tubuh Indahku, ada yang berujar, “Ini, kan, film LGBT. Nanti banyak yang memaklumi.”
Menurut saya pernyataan seperti ini merendahkan kecerdasan orang Indonesia. Dengan berujar seperti itu, berarti menyamakan warga Indonesia yang berumur 21 tahun ke atas dengan anak-anak berumur 7 tahun. Seolah-olah tidak bisa berpikir. Seolah-olah tidak bisa menyerap setiap film yang ditonton.
Dan menurut saya, ketika kita mulai menapaki umur 21 tahun, sudah waktunya melatih pemikiran agar lebih kritis. Salah satunya dengan berani menyentuh hal-hal yang tidak kamu sepakati.
Semisal saya sendiri tidak setuju dengan paham komunisme. Namun, ketika ditanya apa itu komunisme saya tidak tahu sama sekali. Mengingat akan hal ini saya menyadari itu hal yang mengerikan. Ketika penolakan tidak didasari pengetahuan yang cukup mengenai apa yang dicekal.
Akhirnya saya mulai membaca mengenai komunisme. Berkeliling dari satu literatur ke literatur lain. Menariknya, sehabis mencari tahu saya sama sekali tidak menjadi pendukung ideologi ini. Saya tetap menolak paham komunisme. Bedanya kali ini lebih bijak. Lebih tahu apa yang harus tidak disetujui dari sudut pandang sendiri. Ibarat dulu memandang sesuatu dari kacamata kuda, kali ini saya mengamati seperti sedang berada di atas helikopter.
Termasuk juga ketika berhadapan dengan isu LGBT. Sampai detik ini saya tetap tidak menyepakati. Namun, kali ini lebih jernih dalam bersikap. Tidak sebrutal seperti sebelumnya.
Yang ingin saya bilang, kita tidak harus menutup mata untuk tidak setuju. Dengan membuka mata pun kita bisa kok tetap tidak sepakat. Bukankah dengan mata terbuka kita akan menjadi lebih adil?
Pertanyaan besarnya, “Mengapa kita takut dengan sesuatu yang tidak disetujui?”
Sepengalaman saya, ketika mulai berani berinteraksi dengan hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan, setidaknya ada dua hal yang ditemui:
- Pemahaman saya selama ini keliru.
- Menguatkan apa-apa yang tidak saya sepakati.
Dan mendapatkan salah satu dari keduanya sama sekali tidak merugikan. Justru saya akan merugi jika terkungkung pada sebuah pemahaman yang ternyata tidak saya mengerti sama sekali.
Jujur, itu lebih mengerikan.