Saya Belum Tahu Mesti Coblos Siapa

Begini rasanya jadi swing voter.

Razan Tata
3 min readFeb 7, 2024
https://tirto.id/simulasi-peta-kekuatan-3-capres-anies-ganjar-prabowo-pilpres-2024-gQh9

Buka TikTok, mau pilih paslon itu. Scrolling X, ganti pilih yang lain. Nonton debat capres, pilihan berubah lagi. Pilpres kali ini berbeda dari edisi-edisi sebelumnya. Kala itu, saya sudah menentukan jauh-jauh hari. Namun, kali ini berbeda. Saya belum yakin mau pilih siapa.

Ya, saya adalah swing voter.

Sebab Menjadi Swing Voter

Photo by Element5 Digital on Unsplash

Jari saya sudah tercelup tinta dua kali saat pilpres: 2014 dan 2019.

Saat pertama kali mencoblos, saya seperti anak kecil yang masuk sekolah. Polos. Perkara benar dan salah, saya masih mengikuti orang lain. Ayah bilang ini orang baik, saya percaya. Ada tokoh masyakarat memberikan pandangan suaranya, saya ikuti. Apalagi keduanya memilih orang yang sama. Saya menganggap itu pilihan yang baik.

Berbeda saat mencoblos kali kedua. Tahun 2019. Saya mulai memilih berdasarkan pilihan sendiri. Namun, saya masih menganggap politik itu hitam dan putih. Melihat dua paslon, di benak saya ada dua pilihan: ini orang baik, itu orang jahat. Apalagi saat itu perbedaan begitu terasa. Seperti dua kubu yang berperang. Makin kuat mana yang hitam, mana yang putih.

Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk sedikit lebih melek. Satu yang paling kentara: tak ada lagi hitam dan putih. Bagi saya, semua paslon sama saja. Bukan sama-sama malaikat, tapi semuanya adalah monster.

Dua kali pilpres membuat saya sadar. Tidak ada yang abadi di dunia politik, yang abadi hanyalah kepentingan yang sama. Hari ini mereka berbeda kubu, setelah pilpres bisa jadi berada di satu benteng. Dua kali pilpres juga menanamkan saya sebuah mindset: semua janji paslon ibarat abu rokok. Tak ada satu pun yang saya yakini. Dari makan siang gratis sampai janji perubahan. Semuanya masuk telinga kiri dan keluar lewat telinga kanan.

Cara Saya Memilih Cukup Berbeda Kali ini

Photo by Maayan Nemanov on Unsplash

Bagi saya pemimpin dinilai dari caranya memimpin. Dia tak perlu mengerti soal teknis. Tapi, dia tahu cara mengarahkan. Dia tak perlu mengerti perihal teknik mesin, tapi dia tahu apa yang harus diperintahkan supaya negeri ini bisa produksi mobil sendiri.

Seorang presiden seperti sutradara film. Dia menentukan warnanya akan seperti apa. Anggap saja ada naskah skenario yang sama, ditangani oleh dua sutradara berbeda: Christopher Nolan dan Michael Bay. Tentu hasil akhirnya akan berbeda. Christopher Nolan dan Michael Bay punya komando yang khas buat mengarahkan set, kostum, tata kamera hingga departemen akting.

Begitu pula menjadi seorang presiden. “Skenario” mereka kurang lebih sama. Tentang mengentaskan kemiskinan, memberikan keadilan, dll. Tapi, komando tiap paslon akan menentukan warna negara ini akan menjadi seperti apa.

Tentu nilai bonus kalau dia bisa memimpin dan mengerti banyak soal teknis.

Ini yang Bikin Saya Bergonta-ganti Pilihan

Photo by Roberto Sorin on Unsplash

Sebagai swing voter, apa saja bisa mempengaruhi. Mulai dari mengamati berita hingga scrolling media sosial. Lalu, ada satu hal yang baru saya sadari memengaruhi pilihan, yaitu kelakuan pendukung paslon.

Semakin mendekati 14 Februari, suasana kian panas. Politik riang gembira ternyata mustahil. Para pendukung mulai menyenggol seperti membawa senjata tajam. Sudah pakai hati.

Komentar para pendukung paslon sudah tidak ada penyaring. Bahkan konteksnya melebar ke mana-mana. Beberapa bikin saya tersinggung. Ada prinsip yang tersenggol. Ingin abai, tapi gejolak emosi tidak bisa bohong. Ternyata ini menggoyang pilihan saya akan paslon tertentu.

Kompetensi, preferensi, hingga kelakuan pendukung menjadi pengaruh terbesar saya dalam memilih. Masih ada beberapa hari. Entah siapa yang akan saya coblos nanti.

Ada saran?

Kamu pilih siapa?

Atau kamu masih belum menentukan pilihan seperti saya?

--

--